BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Post Modernisme
Postmodernisme adalah faham yang
berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya.
Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai
teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak
tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari
modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah
pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida,
Foucault
dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan
yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin, Postmodernisme
adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens,
itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang
terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme
yang belum selesai[1].
B.
Biografi Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun lahir di
suatu desa di kaki-gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair, pada tanggal 1 Februari 1928, keadaan
keluarga Arkhun berada pada strata fisik dan
sosial yang rendah bahkan ibunya tercatat sebagai seseorang yang cacat huruf,
dalam kesehariannya lingkungan Muhammad Arkhun biasa menggunakan Kabilia Berber
sebagai bahasa ibu dan bahasa arab sebagai bahasa nasional Al – Jazair.
Dari
segi pendidikan Muhammad Arkhun merupakan pelajar yang memiliki motifasi
tinggi, untuk tingkatan dasar ia tempuh di desa asalnya, untuk sekolah menegah
ia tempuh dikota Pelabuhan Oran (kota bagian barat Al – Jazair), pada tahun
1950 - 1954 ia melanjutkan studi bahasa dan sastra arab di Universitas Al –
Jir, salah satu bukti motifasi tinggi dari Muhammad Arkun dalam dunia
pendidikan yakni ketika perang kemerdekaan Al – Jazair dari Prancis (1954-1962)
ia tetap melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne.
Pada
tahun 1961, diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun
1969, dan menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas
tersebut. Arkoun menulis desertasi doctor mengenai Humanisme dalam pemikiran
etis Miskawaih (w.1030 M). dan sejak itu ia menetap di prancis, aktifitas yang melekat padanya yakni
sebagai peneliti walupun sudah pensiun ia tetap menjadi pembimbing dalam
berbagai peneltian di Universitas Sorbone, selain itu ia juga menjadi dosen
tamu pada berbagai universitas di seluruh dunia, termasuk di universitas
Amsterdam dan Ismail Studies di London.
Karya
Muhammad Arkoun ini selain membuka cakrawala umat islam, telah menimbulkan
aneka reaksi dan perhatian luas, baik berupa penolakan maupun sambutan
semangat.
Pada
tahun 1987 Muhammad Nasir melalui pengankatan karya Arkoun sebagai tema diskusi
diyayasan Empati dan dan artikelnya di majalah Ulumul Qur’an (1989) menjadikan
dia sebagai orang pertama yang memperkenalkan mengenai sosok Muhammad Arkoun di
Indonesia.
C.
Pemikiran Muhammad arkoun
1.
Kritik Nalar Pemikiran Islam
kajian pemikiran islam
Muhammad Arkoun sangat berbeda dengan para pemikiran islam lainnya, yakni
dengan model pemikiran Hasan Hanafi yang kental dengan kalam dan filsafatnya,
Sayyed Naser bobot tasawuf dan filsafat yang sangat mengakar, Ismail R. Al – Faruqi
dan Syed Muhammad Naquib Al – Attas dengan identitas pengetahuannya yang begitu
kuat.
Tetapi pemikiran Muhammad
Arkoun ini lebih mirip dengan pemikiran Fadzlurrahman yakni “kritis” terhadap
warisan intelektual islam era klasik –
skolastik (hukum filsafat), abad pertengahan. Namun jika Fadzlurrahman dengan
jelas mengelurkan kritikannya terhadap pemahaman umat islam mengenai hadis dan
segera menyususn pemahaman al – qur’an secara komprehensif sesuai yang tertulis
di bukunya yang berjudul “ Major Themes Of The Qur’an”. Sementara Arkoun
lebih menyeru untuk lebih banyak menyentuh “bangunan” pemikiran islam secra
menyeluruh baik yang bersangkutan dengan ilmu kalam, tasawuf, fikih, maupun
tafsir.
Namun yang belum di lakukan
Arkoun untuk menyamai Fazlurrahman yakni ketika fadazlurrahman menulis buku
dengan judul major themes of the qur’an
sehingga memberi kesimpulan bahwa perlunya segera diupayakan Systematika
Recontruktion dalam pemikiran islam terutama menyangku bidang theology,
filsafat dan ilmu kalam. Namun Fadzlurrazi juga masih bimbang dalam memilih
model pemikiran islam apakah berdasar Normative atau Histories
Empiris untuk menentukan systematika recontruktion, dan kekosongan
inilah yang akan dipenuhi oleh Muhammad Arkoun.
Pemikiran keislaman Muhammad
Arkoun ini lebih cenderung pada metode Histories Empiris, hal ini sesuai dengan
apa yang dimakasudkan pada konsep pemikirannya tentang islamologi terapan ia
menganjurkan untuk mengguanakan metode temuan – temuan Ilmu Social pada abad ke- 19.
“analisis struktur
konstruksi ‘keilmuan’ agama yang sangat waspada akan kemungkinan adanya
keterlibatan dan campur tangan perkumpulan kemanusiaan yang bersifat ‘Sosio
Historis’ dalam proses penyususnan format sistematika keilmuan agama” inilah konsep pemikiran keiluman islam yang
di gagas oleh Muhammad Arkoun. Namun konsep ini tidak sealur dengan pemikiran
yang di gagas oleh Sayyed Hosein Nasr, yang lebih mengutamakan aspek
transedentalisme atau perennialism. Jika
sayyed naser lebih mengkritik mengenai budaya modern terlebih budaya barat,
lain halnya dengan M. Arkoun yang lebih melakukan analisis untuk tinjauan ulang
mengnai tujuan dari rancangan bangunan epistimologi keilmuan islam dan
histories keberagamaan islam.
2.
Semiotika dalam Ilmu Agama
Jika semiotika diartikan sebagai
tanda maka agama merupakan obyek yang paling strategis, karena tanda
memiliki peran yang penting terhadap agama, tentu dengan berbagai cara yang
secara selektif untuk kita terima:
Pertama dalam pandangan agama (minimal agama
yahudi, Kristen dan islam) alam dan segala unsur didalamnya merupakan tanda
Allah (tuhan) lebih tepatnya merupaan tanda kekuasaaan Allah. Kedua,
kitab suci merupakan himpunan tanda yang mengandung makna kekuasaan tuhan yang
harus digali manusia melalui aneka penafsirannya. Ketiga teks wahyu
merupakan bentuk interaksi segitiga antara penutur teks, teks itu sendiri, dan
penerima teks, persoalan ada suatu maksud tertentu, nah persoalan ini yang di
anggap tidak relevan oleh semiotika. Keempat agama juga bisa terdapat
berbagai tanda sehingga muncul ortodoksi, keterbukaan atau ekslusifnya korpus
rujukan dalam bidang theology atau hokum agama dan sebagainya.
Didalam agama islam tanda
sangatlah berperan penting, kata ayat yang meiliki dasar pengertian sebagai
tanda terdapat ratusan kali di dalam al – qur’an contoh didalam surat Fussilat
: 53. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu?.
Kata ayat atau tanda sering
memiliki konotasi sebagai bukti, padahal didalam al – qur’an sendiri terdapat
kata ayat yang memiliki pengertian sebagai contoh, hal ini sesuai dengan surat
Hud : 103 : Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. hari kiamat itu
adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan
hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).
3.
Membaca Al – Qur’an Bersama Muhamamd Arkoun
Muhammad Arkoun dalam
usahanya untuk mendekati khazanah intelektual dan rohani islam, bukanlah suatu
hal yang baru di dunia islam. Fazlurrahman misalnya yang memiliki komitmen
searah yakni mencari intelektual dan rohani islam lewat tradisi islam. Dan
pendekatan linguistic yang ditempuh oleh Muhammad Arkoun sebagai pisau
analisisnya untuk memilah tradisi islam yang sudah terselimuti kepentingan
ideologis dan politis. Disisi lain Muhammad Arkoun mengakui bahwa metode cara
bacanya ini terinspirasi dari tradisi pemikiran Kristen. Tetapi ia menyatakan
bahwa apa yang ia lakukan bukan merupakan apologetis dari qur’an.
Teks keagamaan merupakan
salah satu unsur terpenting untuk mendukung penghayatan iman, amal dan
berkomunikasi dengna kelompok – kelompok agama lain. Menurut Muhammad Arkoun
cara baca seseorang sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan seseorang
terhadap teks tersebut[2].
Sedangakan menurutnya dan berbagai pemikir muslim lain banyak mengikuti
analisis semioitis, dan menyatakan bahwa teks al – qur’an merupakan bahasa
lisan yang di ditranskripsikan dalam bahasa tulisan yang berbentuk teks.
Sehingga nalar grafis mendominasi dalam berfikir umat islam untuk memahami
wahyu.
Tujuan qira’at menurut arkoun
adalah sebagai upaya untuk mengerti, yakni mengerti komunikasi kenabian atau
mencari makna yang hendak disampaikan melalui teks yang bersangkutan[3].
Teks agama ini juga memiliki sisi keunikan yakni diturunkan sekali tapi untuk
selamanya.
4.
Islam Menghadapi Tantangan Kemodernan
Muhammad Arkoun mengkaji
modernisme sejak masa perlawanan negaranya (Al-Jazair) pada Prancis 950-an,
selain itu kajiannya juga terdorong oleh hubungan yang aktif dengan minoritas
muslim di prancis yang sering menghadapi konflik ketika hidup berhadapan dengan
masyarakat mayoritas katolik disebuah negeri industri modern.
Muhammad Arkoun mengkritik
islamologi barat dan pemikiran yang mengungkung kaum muslimin hingga kini, ia
juga mengkritik dua tokoh pemikir
modernis sebelumnya yakni Toha Husein dan Ali Abd. Al – Razaq, yang menurut Muhammad
Arkoun berusaha mengawamitoskan peran nabi Muhammad dalam membangun Negara
ummah dan sumber keilahian wacana qur’an[4].
Selanjutnya Muhammad arkoun menyatakan bahwa islamologi barat hanya
memperhatikan “kenyataan positif – histories” dengan mengabaikan fungsi mitos
dan angan – angan sebagai kenyataan positif – histories.
Para cndikiawan pada masa
renainsans (nahdoh) seperti Al – Afgani, Muhammad Abduh, At – Tahtawi dan
terutama yang hidup pada antara tahun 1930 dan 1940 yang Muhammad Arkoun kritik
karena pembuatan modernize hanya semata sebagai perpanjangan dari tradisi barat
yang skuler, rasional, liberal dan jauh dari alam pemikiran rakyat[5].
Muhammad Arkoun tidak mau
membatasi modernisme dengan sebatas difnisi umumnya, tetapi lebih cenderung
membatasinya dengan masa. Pertama ia menyebutkan modernisme muncul di dunia
barat (Kristen) tepatnya pada masa 490 s.d 500 (perpindahan dari romawi lama ke
masa masehi), sedangkan modernisme klasik yelah muncul dieropa pada abad 15
hingga tahun 1950, namun ada yang berpendapat bahwa modernisme telah muncul
antara 1450 dan 1500[6].
Namun Arkoun menyebutkan bahwa modernisme tidak akan bisa lepas dari kemajuan
pada masa lalu masa kuno (yunani – romawi) dan masa abad pertengahan (keemasan
islam abad 7 – 12 M[7]),
lalu kemajuan bergeser pada kekuasaan Kristen yakni pada abad 12 sd 15
(kejayaan skolastik)[8].
Sehingga bisa di simpulkan bahwa kemodern bisa saja terjadi ditengah – tengah
umat manusia manapun yang tidak akan memulai dari titik nol lagi.
Karena itu Muhammad Arkoun
menyatakan bahwa untuk menuju umat islam yang modern maka harus membebaskan
diri dari suasana psikologis (rasa menyerah dari Kristen) yang lebih bersifat
traumatis, menggantinya dengan kesanggupan melihat modernisme apa adanya dan
tidak ada pertentangan dan kesalah pahaman. Sehingga perlu meninjau ulang
keabsahan perbedaan antara timur yang lebih bersifat sufistik dan barat yang
bersifat realis serta rasionalis, bisa dilihat pada berbagai masyarakat yang
dianggap primitive tetapi mengalami kemajuan dan juga munculnya gerakan anti
rasionalisme, pengakuan nabi, kurrafat di berbagai Negara yang yang disebut
modern.
Untuk menciptakan motifasi
bagi umat islam Muhammad Arkoun menyatakan bahwa kemodern antara barat dan
islam memiliki dua kutub yang saling berkaitan, yakni 1). kutub lama :
yang kuno, tradisional, klasik dsb. 2). Kutub masa depan : inovasi,
orientasi masa depan, keputusan cakrawala yang jauh. Kedua kutub ini saling
berkaitan dan perubahan yang menghasilkan kemodern merupakan kombinasi antara
potensi masa lalu dan masa datang, dari yang tradisional akan menjadi modern
dan yang modern dalam perjalanannya akan kembali tradisonal. Lebih lanjut
Muhammad Arkoun menjelaskan modernisme memilik dua sisi yakni materil
dan intelektual / budaya, materi muncul dari suatu hal yang bersumber di
luar manusia. Sedangkan yang kedua lebih berupa metode , alat analisis, dan
sikap intelektual yang memberi kemampan untuk, memahami kenyataan.
Kemodernan intelektual
sebenarnya bisa di pahamui sejak masa petrarca, yang gagasannya mengakibatkan
munculnya paham humanisme dan renainsans, sekaligus sebagai pengubah pandangan
lama yakni kebenaran wahyu adalah cahaya dan nalar itu adalah kegelapan dirubah
dengan pandangan bahwa nalar itu adalah cahaya sementara wahyu itu adalah
kegelapan (penentang agama)[9].
5.
Islam dan Pasca Modernisme
Tujuna yang dikejar Muhammad
Arkoun melalui berbagai karyanya yaitu sebagai upaya untuk pembebasan nalar
islami dari kejumudan, keterbatasan, dan ketertutupan sehingga islam bisa
menjadi sarana kembali untuk emansipasi umat. Atau dalam kaitan yang lain
disebutkan bahwa Muhammad Arkoun berusaha menggabungkan kedua unsur yang
berharga yakni nalar islami dan nalar modern.
Dalam kajian epitisme
Muhammad Arkoun mengutip pendapat m. Fosoult, yakni tentang proses manusia
menangkap sesuatu yakni meluli proses memandang, menguraikan dan memahami
kenyataan.
Selain kajian epistme Muhamad
Arkoun juga melakukan analitik tentang arkeologi, dlam pandangan
Foucoult yakni suatu penyingkapan terhadap susunan dasar karya yang menguasai
itu lebih menentukan dari pada pribadi penulis bahkan pengaruh gagasan
terdahulu.
Tentang uraian nalar islami,
Muhammad Arkoun selalu menekankan konsep logosentrisme yakni teori yang
menyatakan bahwa “manusia tidak akan bisa berfikir diluar tradisi
kebahasaannya”.
Sedangkan untuk mencapai
emansipasi, Muhammad Arkoun mengisayaratkan tidak karena suatu kebenaran
tunggal tetapi melalui penyingkapan wacana tertindas, pembingkaran wacana
dominan baik internal islam maupun interaksi dengan barat.
Muhammad Arkoun juga
mengkritisi modernisme barat yakni masa pasca modern masih erat kaitannya
dengan dominasi barat dan hanya melanjutkan dari modernisme, sedangkan kritik
konkrit dari Muhammad Arkoun untuk barat pada abad pertengahan yakni :
bagaimana barat menolak secara ekstrim keberadaan agama termasuk mitos dan
angan – angan, keterpusatan dan keangkuhan barat, sehingga barat melalaikan
kesejahteraan dan kebutaan nalar dunia ketiga termasuk dunia islam, dan yang
lebih menyakitakan Muhammad Arkoun adalah ketika eksploitasi barat sehingga
menyebabkan keterbelakangan nalar di dunia islam.
Dari berbagai kritikan
Muhammad Arkoun untuk barat yang telah disebutkan diatas, maka Muhammad Arkoun
memiliki gagasan agar umat islam tidak begitu saja mengambil alih pemikiran
barat dan membuang tradisi sendiri, karena yang di gagas arkoun adalah
kolaborasi atau penggabungan sikap rasional dan sikap kritis modern dengan
semangat keagamaan dan terbuka pada angan – angan islam.
Pendapat Muhammad arkoun ini
termuat dalam dua hal yang saling berkaitan berikut : disatu pihjak ia sebagai
muslim menolak walaupun hanya implicit, mengenai kesimpulan yag di gagas oleh
Derrida, yaitu “tidak ada suatu yang transeden”sedangakan dilain pihak ia
menggaris bawahi tanpa mempermasalhkan status ilahiyah dari wacana al – qur’an,
tetapa saja perpindahan apapun ke “kebenaran” yang diaktualisasikan dalam
kehidupan konkret , berfungsi dengan bantuan perantara manusia.
Sehingga Muhammad Arkoun
memberi kesimpulan bahwa demi emansipasi umat, maka tidak hanya nalar islami
tradisional yang harus di ongkar, tetapi juga berbagai penyimpangan dan
keterbatasan nalar modern[10].
[2] Yang dicontohkan oleh Muhammad Arkoun
adalah surat al – fatihah yang memiliki nama atau sebutan lain missal al –
hamd (pujian), assyifa’ (penyembuhan), as – salat (diucapakan setiap salat)
dsb,
[3] Dorongan mengerti sebaiknya dikaitkan
dengan potsulat manusia yang dikatakan Arkoun yakni : 1). Manusia adalah
persoalan konkrit bagi dirinya sendiri, 2). Pengetahuan akan hal – hal nyata
(dunia, hidup, makna, dll) merupakan tanggung jawab manusia, 3).pengetahuan ini
harus menjadi rujukan untuk melepaskan diri dari hambatan – hamabtan, 4).
Sehingga resiko permanent bagi manusia untuk keluar dari ketertutupan, 5)jalan
keluar bisa disejajarkan dengan perjalanan rohani dalam mistis.
[4] Mohammed Arkoun “Coment Etudier La Pense
Islamique? Dalam Muhammad Arkoun, Pour Une Critique De La Raison
Islamique (Paris Maisonneuve Et Larose, 1984) hlm. 28
[5] Arkoun Muhammad, “Religion Et Societe
D’aprees L’exemple De Islam” Studi Islamica (Paris), 55 (1982)) Hlm. 48
[6] Bertrand Russel, A History Of West Tren
Filosofy (Ed. London: George Allen
& Unwin, 1974), Hal 500
[7] Kemajuan islam sangatlah terkait dengan
masa kemajuan di yunani yakni melalui gelomang helenisme.
[8] Tokohnya adalah : Al - Bertus Agung, Thomas
Aquinas, Mona Venttura,
[9] Hal ini sesuai dengan pendapat Harvey Cok
dalambukunya religion in the seculer city menurutnya ada tiga pilar
kemodern yakni ilmu pengetahuan yang mengarah pada rasonalis, Negara bangsa
yang memuara pada nasionalisme dan pengabaian agam atau sekulerisme.
[10] Tentanng penjelasan mutahir Muhammad
Arkoun, bisa lihat juga penjelasan berjudul “Idahat War U-Dud” oleh
Hasyim Salih dalam Arkoun, Min Faisal At – Tariqah Ila Fasl Al – Maqal.
Hlm. 19 - 32