Halaman

Rabu, 23 Oktober 2013

post modernisme muhammad arkoun



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Post Modernisme
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai[1].
B.      Biografi Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun lahir di suatu desa di kaki-gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair, pada tanggal 1 Februari 1928, keadaan keluarga Arkhun berada pada  strata fisik dan sosial yang rendah bahkan ibunya tercatat sebagai seseorang yang cacat huruf, dalam kesehariannya lingkungan Muhammad Arkhun biasa menggunakan Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa arab sebagai bahasa nasional Al – Jazair.
Dari segi pendidikan Muhammad Arkhun merupakan pelajar yang memiliki motifasi tinggi, untuk tingkatan dasar ia tempuh di desa asalnya, untuk sekolah menegah ia tempuh dikota Pelabuhan Oran (kota bagian barat Al – Jazair), pada tahun 1950 - 1954 ia melanjutkan studi bahasa dan sastra arab di Universitas Al – Jir, salah satu bukti motifasi tinggi dari Muhammad Arkun dalam dunia pendidikan yakni ketika perang kemerdekaan Al – Jazair dari Prancis (1954-1962) ia tetap melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne.
Pada tahun 1961, diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, dan menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doctor mengenai Humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w.1030 M). dan sejak itu ia menetap di prancis, aktifitas yang melekat padanya yakni sebagai peneliti walupun sudah pensiun ia tetap menjadi pembimbing dalam berbagai peneltian di Universitas Sorbone, selain itu ia juga menjadi dosen tamu pada berbagai universitas di seluruh dunia, termasuk di universitas Amsterdam dan Ismail Studies di London.
        Karya Muhammad Arkoun ini selain membuka cakrawala umat islam, telah menimbulkan aneka reaksi dan perhatian luas, baik berupa penolakan maupun sambutan semangat.
        Pada tahun 1987 Muhammad Nasir melalui pengankatan karya Arkoun sebagai tema diskusi diyayasan Empati dan dan artikelnya di majalah Ulumul Qur’an (1989) menjadikan dia sebagai orang pertama yang memperkenalkan mengenai sosok Muhammad Arkoun di Indonesia.
C.      Pemikiran Muhammad arkoun
1.   Kritik Nalar Pemikiran Islam
kajian pemikiran islam Muhammad Arkoun sangat berbeda dengan para pemikiran islam lainnya, yakni dengan model pemikiran Hasan Hanafi yang kental dengan kalam dan filsafatnya, Sayyed Naser bobot tasawuf dan filsafat yang sangat mengakar, Ismail R. Al – Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al – Attas dengan identitas pengetahuannya yang begitu kuat.
Tetapi pemikiran Muhammad Arkoun ini lebih mirip dengan pemikiran Fadzlurrahman yakni “kritis” terhadap warisan intelektual  islam era klasik – skolastik (hukum filsafat), abad pertengahan. Namun jika Fadzlurrahman dengan jelas mengelurkan kritikannya terhadap pemahaman umat islam mengenai hadis dan segera menyususn pemahaman al – qur’an secara komprehensif sesuai yang tertulis di bukunya yang berjudul “ Major Themes Of The Qur’an”. Sementara Arkoun lebih menyeru untuk lebih banyak menyentuh “bangunan” pemikiran islam secra menyeluruh baik yang bersangkutan dengan ilmu kalam, tasawuf, fikih, maupun tafsir.
Namun yang belum di lakukan Arkoun untuk menyamai Fazlurrahman yakni ketika fadazlurrahman menulis buku dengan  judul major themes of the qur’an sehingga memberi kesimpulan bahwa perlunya segera diupayakan Systematika Recontruktion dalam pemikiran islam terutama menyangku bidang theology, filsafat dan ilmu kalam. Namun Fadzlurrazi juga masih bimbang dalam memilih model pemikiran islam apakah berdasar Normative atau Histories Empiris untuk menentukan systematika recontruktion, dan kekosongan inilah yang akan dipenuhi oleh Muhammad Arkoun.
Pemikiran keislaman Muhammad Arkoun ini lebih cenderung pada metode Histories Empiris, hal ini sesuai dengan apa yang dimakasudkan pada konsep pemikirannya tentang islamologi terapan ia menganjurkan untuk mengguanakan metode temuan – temuan Ilmu Social pada abad  ke- 19.
“analisis struktur konstruksi ‘keilmuan’ agama yang sangat waspada akan kemungkinan adanya keterlibatan dan campur tangan perkumpulan kemanusiaan yang bersifat ‘Sosio Historis’ dalam proses penyususnan format sistematika keilmuan agama” inilah konsep pemikiran keiluman islam yang di gagas oleh Muhammad Arkoun. Namun konsep ini tidak sealur dengan pemikiran yang di gagas oleh Sayyed Hosein Nasr, yang lebih mengutamakan aspek transedentalisme  atau perennialism. Jika sayyed naser lebih mengkritik mengenai budaya modern terlebih budaya barat, lain halnya dengan M. Arkoun yang lebih melakukan analisis untuk tinjauan ulang mengnai tujuan dari rancangan bangunan epistimologi keilmuan islam dan histories keberagamaan islam.
2.   Semiotika dalam Ilmu Agama
Jika semiotika diartikan sebagai tanda maka agama merupakan obyek yang paling strategis, karena tanda memiliki peran yang penting terhadap agama, tentu dengan berbagai cara yang secara selektif untuk kita terima:
Pertama dalam pandangan agama (minimal agama yahudi, Kristen dan islam) alam dan segala unsur didalamnya merupakan tanda Allah (tuhan) lebih tepatnya merupaan tanda kekuasaaan Allah. Kedua, kitab suci merupakan himpunan tanda yang mengandung makna kekuasaan tuhan yang harus digali manusia melalui aneka penafsirannya. Ketiga teks wahyu merupakan bentuk interaksi segitiga antara penutur teks, teks itu sendiri, dan penerima teks, persoalan ada suatu maksud tertentu, nah persoalan ini yang di anggap tidak relevan oleh semiotika. Keempat agama juga bisa terdapat berbagai tanda sehingga muncul ortodoksi, keterbukaan atau ekslusifnya korpus rujukan dalam bidang theology atau hokum agama dan sebagainya.
Didalam agama islam tanda sangatlah berperan penting, kata ayat yang meiliki dasar pengertian sebagai tanda terdapat ratusan kali di dalam al – qur’an contoh didalam surat Fussilat : 53. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.
Kata ayat atau tanda sering memiliki konotasi sebagai bukti, padahal didalam al – qur’an sendiri terdapat kata ayat yang memiliki pengertian sebagai contoh, hal ini sesuai dengan surat Hud : 103 : Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).
3.   Membaca Al – Qur’an Bersama Muhamamd Arkoun
Muhammad Arkoun dalam usahanya untuk mendekati khazanah intelektual dan rohani islam, bukanlah suatu hal yang baru di dunia islam. Fazlurrahman misalnya yang memiliki komitmen searah yakni mencari intelektual dan rohani islam lewat tradisi islam. Dan pendekatan linguistic yang ditempuh oleh Muhammad Arkoun sebagai pisau analisisnya untuk memilah tradisi islam yang sudah terselimuti kepentingan ideologis dan politis. Disisi lain Muhammad Arkoun mengakui bahwa metode cara bacanya ini terinspirasi dari tradisi pemikiran Kristen. Tetapi ia menyatakan bahwa apa yang ia lakukan bukan merupakan apologetis dari qur’an.
Teks keagamaan merupakan salah satu unsur terpenting untuk mendukung penghayatan iman, amal dan berkomunikasi dengna kelompok – kelompok agama lain. Menurut Muhammad Arkoun cara baca seseorang sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan seseorang terhadap teks tersebut[2]. Sedangakan menurutnya dan berbagai pemikir muslim lain banyak mengikuti analisis semioitis, dan menyatakan bahwa teks al – qur’an merupakan bahasa lisan yang di ditranskripsikan dalam bahasa tulisan yang berbentuk teks. Sehingga nalar grafis mendominasi dalam berfikir umat islam untuk memahami wahyu.
Tujuan qira’at menurut arkoun adalah sebagai upaya untuk mengerti, yakni mengerti komunikasi kenabian atau mencari makna yang hendak disampaikan melalui teks yang bersangkutan[3]. Teks agama ini juga memiliki sisi keunikan yakni diturunkan sekali tapi untuk selamanya.
4.   Islam Menghadapi Tantangan Kemodernan
Muhammad Arkoun mengkaji modernisme sejak masa perlawanan negaranya (Al-Jazair) pada Prancis 950-an, selain itu kajiannya juga terdorong oleh hubungan yang aktif dengan minoritas muslim di prancis yang sering menghadapi konflik ketika hidup berhadapan dengan masyarakat mayoritas katolik disebuah negeri industri modern.
Muhammad Arkoun mengkritik islamologi barat dan pemikiran yang mengungkung kaum muslimin hingga kini, ia juga mengkritik dua  tokoh pemikir modernis sebelumnya yakni Toha Husein dan Ali Abd. Al – Razaq, yang menurut Muhammad Arkoun berusaha mengawamitoskan peran nabi Muhammad dalam membangun Negara ummah dan sumber keilahian wacana qur’an[4]. Selanjutnya Muhammad arkoun menyatakan bahwa islamologi barat hanya memperhatikan “kenyataan positif – histories” dengan mengabaikan fungsi mitos dan angan – angan sebagai kenyataan positif – histories.
Para cndikiawan pada masa renainsans (nahdoh) seperti Al – Afgani, Muhammad Abduh, At – Tahtawi dan terutama yang hidup pada antara tahun 1930 dan 1940 yang Muhammad Arkoun kritik karena pembuatan modernize hanya semata sebagai perpanjangan dari tradisi barat yang skuler, rasional, liberal dan jauh dari alam pemikiran rakyat[5].
Muhammad Arkoun tidak mau membatasi modernisme dengan sebatas difnisi umumnya, tetapi lebih cenderung membatasinya dengan masa. Pertama ia menyebutkan modernisme muncul di dunia barat (Kristen) tepatnya pada masa 490 s.d 500 (perpindahan dari romawi lama ke masa masehi), sedangkan modernisme klasik yelah muncul dieropa pada abad 15 hingga tahun 1950, namun ada yang berpendapat bahwa modernisme telah muncul antara 1450 dan 1500[6]. Namun Arkoun menyebutkan bahwa modernisme tidak akan bisa lepas dari kemajuan pada masa lalu masa kuno (yunani – romawi) dan masa abad pertengahan (keemasan islam abad 7 – 12 M[7]), lalu kemajuan bergeser pada kekuasaan Kristen yakni pada abad 12 sd 15 (kejayaan skolastik)[8]. Sehingga bisa di simpulkan bahwa kemodern bisa saja terjadi ditengah – tengah umat manusia manapun yang tidak akan memulai dari titik nol lagi.
Karena itu Muhammad Arkoun menyatakan bahwa untuk menuju umat islam yang modern maka harus membebaskan diri dari suasana psikologis (rasa menyerah dari Kristen) yang lebih bersifat traumatis, menggantinya dengan kesanggupan melihat modernisme apa adanya dan tidak ada pertentangan dan kesalah pahaman. Sehingga perlu meninjau ulang keabsahan perbedaan antara timur yang lebih bersifat sufistik dan barat yang bersifat realis serta rasionalis, bisa dilihat pada berbagai masyarakat yang dianggap primitive tetapi mengalami kemajuan dan juga munculnya gerakan anti rasionalisme, pengakuan nabi, kurrafat di berbagai Negara yang yang disebut modern.

Untuk menciptakan motifasi bagi umat islam Muhammad Arkoun menyatakan bahwa kemodern antara barat dan islam memiliki dua kutub yang saling berkaitan, yakni 1). kutub lama : yang kuno, tradisional, klasik dsb. 2). Kutub masa depan : inovasi, orientasi masa depan, keputusan cakrawala yang jauh. Kedua kutub ini saling berkaitan dan perubahan yang menghasilkan kemodern merupakan kombinasi antara potensi masa lalu dan masa datang, dari yang tradisional akan menjadi modern dan yang modern dalam perjalanannya akan kembali tradisonal. Lebih lanjut Muhammad Arkoun menjelaskan modernisme memilik dua sisi yakni materil dan intelektual / budaya, materi muncul dari suatu hal yang bersumber di luar manusia. Sedangkan yang kedua lebih berupa metode , alat analisis, dan sikap intelektual yang memberi kemampan untuk, memahami kenyataan.
Kemodernan intelektual sebenarnya bisa di pahamui sejak masa petrarca, yang gagasannya mengakibatkan munculnya paham humanisme dan renainsans, sekaligus sebagai pengubah pandangan lama yakni kebenaran wahyu adalah cahaya dan nalar itu adalah kegelapan dirubah dengan pandangan bahwa nalar itu adalah cahaya sementara wahyu itu adalah kegelapan (penentang agama)[9].

5.   Islam dan Pasca Modernisme
Tujuna yang dikejar Muhammad Arkoun melalui berbagai karyanya yaitu sebagai upaya untuk pembebasan nalar islami dari kejumudan, keterbatasan, dan ketertutupan sehingga islam bisa menjadi sarana kembali untuk emansipasi umat. Atau dalam kaitan yang lain disebutkan bahwa Muhammad Arkoun berusaha menggabungkan kedua unsur yang berharga yakni nalar islami dan nalar modern.
Dalam kajian epitisme Muhammad Arkoun mengutip pendapat m. Fosoult, yakni tentang proses manusia menangkap sesuatu yakni meluli proses memandang, menguraikan dan memahami kenyataan.
Selain kajian epistme Muhamad Arkoun juga melakukan analitik tentang arkeologi, dlam pandangan Foucoult yakni suatu penyingkapan terhadap susunan dasar karya yang menguasai itu lebih menentukan dari pada pribadi penulis bahkan pengaruh gagasan terdahulu.
Tentang uraian nalar islami, Muhammad Arkoun selalu menekankan konsep logosentrisme yakni teori yang menyatakan bahwa “manusia tidak akan bisa berfikir diluar tradisi kebahasaannya”.
Sedangkan untuk mencapai emansipasi, Muhammad Arkoun mengisayaratkan tidak karena suatu kebenaran tunggal tetapi melalui penyingkapan wacana tertindas, pembingkaran wacana dominan baik internal islam maupun interaksi dengan barat.
Muhammad Arkoun juga mengkritisi modernisme barat yakni masa pasca modern masih erat kaitannya dengan dominasi barat dan hanya melanjutkan dari modernisme, sedangkan kritik konkrit dari Muhammad Arkoun untuk barat pada abad pertengahan yakni : bagaimana barat menolak secara ekstrim keberadaan agama termasuk mitos dan angan – angan, keterpusatan dan keangkuhan barat, sehingga barat melalaikan kesejahteraan dan kebutaan nalar dunia ketiga termasuk dunia islam, dan yang lebih menyakitakan Muhammad Arkoun adalah ketika eksploitasi barat sehingga menyebabkan keterbelakangan nalar di dunia islam.
Dari berbagai kritikan Muhammad Arkoun untuk barat yang telah disebutkan diatas, maka Muhammad Arkoun memiliki gagasan agar umat islam tidak begitu saja mengambil alih pemikiran barat dan membuang tradisi sendiri, karena yang di gagas arkoun adalah kolaborasi atau penggabungan sikap rasional dan sikap kritis modern dengan semangat keagamaan dan terbuka pada angan – angan islam.
Pendapat Muhammad arkoun ini termuat dalam dua hal yang saling berkaitan berikut : disatu pihjak ia sebagai muslim menolak walaupun hanya implicit, mengenai kesimpulan yag di gagas oleh Derrida, yaitu “tidak ada suatu yang transeden”sedangakan dilain pihak ia menggaris bawahi tanpa mempermasalhkan status ilahiyah dari wacana al – qur’an, tetapa saja perpindahan apapun ke “kebenaran” yang diaktualisasikan dalam kehidupan konkret , berfungsi dengan bantuan perantara manusia.
Sehingga Muhammad Arkoun memberi kesimpulan bahwa demi emansipasi umat, maka tidak hanya nalar islami tradisional yang harus di ongkar, tetapi juga berbagai penyimpangan dan keterbatasan nalar modern[10].






[1] Bambang Sugiharto., Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996

[2] Yang dicontohkan oleh Muhammad Arkoun adalah surat al – fatihah yang memiliki nama atau sebutan lain missal al – hamd (pujian), assyifa’ (penyembuhan), as – salat (diucapakan setiap salat) dsb,
[3] Dorongan mengerti sebaiknya dikaitkan dengan potsulat manusia yang dikatakan Arkoun yakni : 1). Manusia adalah persoalan konkrit bagi dirinya sendiri, 2). Pengetahuan akan hal – hal nyata (dunia, hidup, makna, dll) merupakan tanggung jawab manusia, 3).pengetahuan ini harus menjadi rujukan untuk melepaskan diri dari hambatan – hamabtan, 4). Sehingga resiko permanent bagi manusia untuk keluar dari ketertutupan, 5)jalan keluar bisa disejajarkan dengan perjalanan rohani dalam mistis.
[4] Mohammed Arkoun “Coment Etudier La Pense Islamique? Dalam Muhammad Arkoun, Pour Une Critique De La Raison Islamique (Paris Maisonneuve Et Larose, 1984) hlm. 28
[5] Arkoun Muhammad, “Religion Et Societe D’aprees L’exemple De Islam” Studi Islamica (Paris), 55 (1982)) Hlm. 48
[6] Bertrand Russel, A History Of West Tren Filosofy (Ed. London: George Allen  & Unwin, 1974), Hal 500
[7] Kemajuan islam sangatlah terkait dengan masa kemajuan di yunani yakni melalui gelomang helenisme.
[8] Tokohnya adalah : Al - Bertus Agung, Thomas Aquinas, Mona Venttura,
[9] Hal ini sesuai dengan pendapat Harvey Cok dalambukunya religion in the seculer city menurutnya ada tiga pilar kemodern yakni ilmu pengetahuan yang mengarah pada rasonalis, Negara bangsa yang memuara pada nasionalisme dan pengabaian agam atau sekulerisme.
[10] Tentanng penjelasan mutahir Muhammad Arkoun, bisa lihat juga penjelasan berjudul “Idahat War U-Dud” oleh Hasyim Salih dalam Arkoun, Min Faisal At – Tariqah Ila Fasl Al – Maqal. Hlm. 19 - 32